Mungkin, Ini Koruptor Paling Jujur Di Indonesia - Di hadapan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang, Senin lalu, Kepala Desa
Klodran, Colomadu, Karanganyar yang terdakwa korupsi tidak ngotot
membela diri, tetapi malah membacakan pleidoi enam halaman yang
diberinya judul ”Pengakuan Seorang Koruptor”. Katanya, ”Dengan alasan
apa pun, saya adalah koruptor yang telah merugikan negara, masyarakat,
keluarga, dan diri saya sendiri, sehingga tidak pantas untuk membela
diri…”
Ia dituduh menyimpangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Klodran
Rp 285,9 juta selama 2007 – 2009. ”Pelajaran kedua”, ia menyatakan
bertanggung jawab sebagai pelaku tunggal, sebab meskipun ada anak
buahnya yang terlibat, tanggung jawab formal organisatoris tetap ada
pada pimpinan. ”Pelajaran ketiga”, ia meminta majelis hakim
menghukumnya seberat mungkin. Walaupun hukum positif telah impas, namun
sampai mati kesalahan kepada rakyat Klodran itu akan tetap melekat
padanya.
Koruptor tetaplah koruptor, namun Endah Rahmanto termasuk ”koruptor
langka”. Dengan angka yang ”hanya” Rp 285,9 juta — jika dibandingkan
dengan ratusan miliar yang biasa dijadikan bancakan para penggogos uang
rakyat — ia seolah-olah menohok para koruptor kakap bahwa tidak ada
alasan apa pun untuk membela diri. Bukankah ada fenomena: membangun
opini seolah-olah menjadi korban kepentingan politik, korban tebang
pilih, menyalahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, dan tampil membela diri
bagai selebriti?
Kesadaran bahwa perbuatannya telah merugikan negara, masyarakat,
keluarga, dan diri sendiri, menjadi pengakuan kunci bagi Endah Rahmanto
yang juga seolah-olah mendekonstruksi kebiasaan para koruptor kakap
yang tak pernah mau mengaku bersalah. Cara menyikapi jerat hukum dan
model-model pembelaan, seperti dalam kasus suap cek pelawat yang
melibatkan puluhan anggota DPR periode 2004-2009 menunjukkan mereka
tidak merasa sebagai ”kesalahan sendiri” melainkan karena ”permainan
tertentu”.
Sang Kepala Desa Klodran itu juga bukan orang yang punya kekuatan
politik dan akses sekuat Gayus Tambunan, yang dengan modal itu bisa
berlenggang kangkung ke mana-mana di tengah masa penahanannya, juga bisa
mengatur sekehendak hati para aparat hukum. Kata kuncinya, Endah
Rahmanto merasa hukuman seberat pun yang akan diterimanya tidak akan
menghapus perasaan bersalah sampai mati, sehingga ia tidak berupaya
membangun justifikasi lain kecuali bahwa dia memang tak pantas membela
diri.
Persidangan di Peradilan Tipikor Semarang itu kiranya memberi pelajaran
mengenai nuansa penampilan berbeda seorang koruptor. Memang sikap
seluruh elemen bangsa dalam perang melawan korupsi harus dikeraskan:
bahwa tidak ada koruptor yang berhak menjustifikasi perbuatannya.
Setidak-tidaknya sikap Endah Rahmanto itu membuat malu — itu pun kalau
masih punya malu — mereka yang besaran jarahannya berlipat-lipat tetapi
dengan berbelit-belit dan menyalahkan orang lain mencoba lari dari
tanggung jawab.
No comments:
Post a Comment