Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat Hafizhahullaah
Pada setiap kali menjelang Idul Fithri seperti sekarang ini (Ramadhan
1434H) atau tepat pada hari rayanya, seringkali kita mendengar dari
para Khatib (penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa Idul
Fithri itu maknanya -menurut persangkaan mereka- ialah “Kembali kepada
Fitrah”, Yakni : Kita kembali kepada fitrah kita semula (suci)
disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa kita.
Penjelasan mereka di atas, adalah batil
baik ditinjau dari jurusan lughoh/bahasa ataupun Syara’/Agama.
Kesalahan mana dapat kami maklumi -meskipun umat tertipu- karena memang
para khatib tersebut (tidak semuanya) tidak punya bagian sama sekali
dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu wajiblah bagi kami untuk
menjelaskan yang haq dan yang haq itulah yang wajib dituruti Insya
Allahu Ta’ala.
Kami berkata :
Pertama
“Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz
Fithru/ Ifthaar” artinya menurut bahasa : Berbuka (yakni berbuka puasa
jika terkait dengan puasa). Jadi Idul Fithri artinya “Hari Raya berbuka
Puasa”. Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama
sebulan kita berpuasa. Sedangkan “Fitrah” tulisannya sebagai berikut
[Fa-Tha-Ra-] dan [Ta marbuthoh] bukan [Fa-Tha-Ra]“.
Kedua
“Adapun kesalahan mereka menurut Syara’ telah datang hadits yang
menerangkan bahwa “Idul Fithri” itu ialah “Hari Raya Kita Kembali
Berbuka Puasa”.
“Artinya : Dari Abi Hurairah (ia berkata) : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالْأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu
ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya
menyembelih hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih
hewan”.
[Hadits Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu
Dawud No. 2324, Ibnu Majah No. 1660, Ad-Daruquthni 2/163-164 dan Baihaqy
4/252 dengan beberapa jalan dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya
terangkan semua sanadnya di kitab saya "Riyadlul Jannah" No. 721. Dan
lafadz ini dari riwayat Imam Tirmidzi]
Dan dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni :
“Artinya : Puasa kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) Fithri kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka”.
Dan dalam lafadz Imam Ibnu Majah :
“Artinya : (Idul) Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan (Idul) Adlha pada hari kamu menyembelih hewan”.
Dan dalam lafadz Imam Abu Dawud:
“Artinya : Dan (Idul) Fithri kamu itu ialah pada hari kamu (semuanya)
berbuka, sedangkan (Idul) Adlha ialah pada hari kamu (semuanya)
menyembelih hewan”.
Hadits di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa
Idul Fithri ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa
lagi setelah selama sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunatkan makan
terlebih dahulu pada pagi harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang
untuk mendirikan shalat I’ed. Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan
telah selesai dan hari ini adalah hari kita berbuka bersama-sama. Itulah
arti Idul Fithri artinya! Demikian pemahaman dan keterangan ahli-ahli
ilmu dan tidak ada khilaf diantara mereka.
Bukan artinya bukan “kembali kepada fithrah”, karena kalau demikian
niscaya terjemahan hadits menjadi : “Al-Fithru/suci itu ialah pada hari
kamu bersuci”. Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian
kecuali orang-orang yang benar-benar jahil tentang dalil-dalil Sunnah
dan lughoh/bahasa.
Adapun makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa puasa
itu ialah pada hari kamu semuanya berpuasa, demikian juga Idul Fithri
dan Adl-ha, maksudnya : Waktu puasa kamu, Idul Fithri dan Idul Adha
bersama-sama kaum muslimin (berjamaah), tidak sendiri-sendiri atau
berkelompok-kelompok sehingga berpecah belah sesama kaum muslimin
seperti kejadian pada tahun ini (1412H/1992M).
Imam Tirmidzi mengatakan -dalam menafsirkan sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam di atas- sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits
ini yang maknanya :
“Artinya : Bahwa shaum/puasa dan (Idul) Fithri itu bersama jama’ah dan bersama-sama orang banyak”.
[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-Masalah Agama)- Jilid ke
satu, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Terbitan Darul Qolam
- Jakarta, Cetakan ke III Th 1423/2002M; dari almanhaj]
Karena salah satu sifat bahasa manasuka, kedua pemaknaan tersebut tentu saja
sah dan boleh-boleh aja. Walaupun demikian, kalau direnungkan lebih dalam
pemaknaan Idul Fitri versi pertama tersebut (kembali menjadi manusia yang suci)
sesungguhnya sangat berat dan spekulatif. Betulkah puasa Ramadhan yang kita
lakukan selama satu bulan tersebut diterima oleh Allah SWT, sehingga
menggugurkan dosa2 kita dan mengantarkan kita menjadi manusia-manusia yang suci
laksana seorang bayi? Padahal Rasulullah saw.menengarai melalui sabdanya, bahwa
sungguh betapa banyak orang yang berpuasa –tetapi karena tidak dilakukan dengan
keimanan dan perhitungan (ikhtisaban)—maka yang bakal dia peroleh hanyalah rasa
lapar dan dahaga saja. Jadi persoalan diterima tidaknya amalan puasa ramadhan
seorang hamba benar-benar hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Atas dasar karena puasa Ramadhan seseorang belum tentu diterima oleh Allah
inilah, maka ucapan tahniah atau ucapan selamat yang diajarkan oleh rasulullah
saat antarsesama muslim bersua di hari Iedul Fitri yakni ‘Taqobalallahu minna
waminka (waminkum), waja’alana minal ‘aidin wal faizin”, yang artinya “Semoga
Allah menerima amaliyah ramadhan saya dan ramdhan anda/kalian, dengan demikian
kita akan menjadi orang yang kembali (kpd agama) dan orang yang berbahagia
karena telah beroleh kemenangan”.
Sedangkan pada kebanyakan masyarakat kita tahniah Iedul Fitri minal aidin walfaizin = mohon maaf lahir batin. Selain penerjemahan seperti ini jelas ngawur juga frasa “mohon maaf lahir batin’ juga secara semantic sesungguhnya kabur. Apakah maaf lahir itu? Kata ‘lahir’ dalam bahasa Indonesia ini dipungut dari bahasa Arab ‘al-dhohiru’ yang artinya tampak wujudnya. Sedangkan kata ‘batin’ berasal dari kata ‘al-bathinu’, yang arttinya tidak tampak wujudnya. Jadi jika merunut arti semantiknya pernyataan ‘mohon maaf lahir dan batin’ berarti mohon maaf atas kesalahan yang tampak maupun yang tidak tampak. Benarkah demikian? (Jadi diandaikan seolah-olah orang yang kita mintai maafnya itu peramal/ paranormal yang bisa memihat yang tampak dan yang tidakj tampak hehe…). Bukankah akan lebih pas jika kita memohon maaf itu atas kesalahan-kesalan yang disengaja atau yang mungkin tidak disengaja? Ini lebih manusiawi sekaligus rasional.
Menurut saya boleh jadi akibat pemahaman-pemahan yang keliru inilah sesungguhnya pangkal mula mengapa ritual Idul Fitri dalam kantong memori umat Islam di negeri ini dan sekitarnya dipersepsi sebagai kegiatan budaya yang wajahnya seperti kita lihat saat ini; memunculkan terjadinya perpindahan manusia secara besar-besaran dari kota ke desa yang disebut mudik, tradisi sungkeman, tradisi halal bihalal dan sejenisnya.. Padahal andai saja pengartian Idul Fitri itu pada yang kedua, yakni ‘kembali berbuka’ mungkin persoalanya akan jauh lebih sederhana dan kedatangan hari raya Idul Fitri tidak harus menjadi perhelatan budaya kolosal seperti sekarang ini. Wallahu a’lam. (Kholid A.Harras)
Awas Kesalahan Penulisan
1. Minal ‘Aidin wal Faizin = Penulisan yang benar berdasarkan penulisan kaidah fonologis
2. Minal Aidin wal Faizin = Juga benar berdasarkan EYD
3. Minal Aidzin wal Faidzin = Salah, karena penulisan “dz” berarti huruf “dzal” dalam abjad arab
4. Minal Aizin wal Faizin = Salah, karena pada kata “Aizin” seharusnya memakai huruf “dal” atau dilambangkan huruf “d” bukan “z”
5. Minal Aidin wal Faidin = Juga salah, karena penulisan kata “Faidin”, seharusnya memakai huruf “za” atau dilambangkan dengan huruf “z” bukan “dz” atau “d”
Mengapa hal ini perlu diperhatikan? Karena kesalahan penulisan abjad juga berarti berimplikasi pada pemaknaan yang juga bisa salah. Seperti dalam bahasa inggris, antara Look dan Lock beda maknanya bukan? Padahal perbedaanya disebabkan oleh salah satu huruf saja..
Semoga kaum muslimin kembali bersatu menjadi satu shaf yang kuat berjalan di atas manhaj dan aqidah Salafush Shalih. Amin!
Sumber Referensi :
http://syamarif.blogspot.com/2012/08/pengertian-arti-idul-fitri-yang.html
http://abuzuhriy.com/salah-dalam-memahami-makna-idul-fitri/
No comments:
Post a Comment