Memaafkan bukan berarti
memaklumi, apalagi melupakan. Keadilan harus tetap ditegakkan. Khususnya bagi
10 peristiwa yang tak dituntaskan hingga sekarang seperti di bawah ini. Bahkan
beberapa kasus diantaranya, kasus Marsinah dan Fuad Muhammad Syarifudin alias
Udin, terancam kadaluarsa.

1. Pembunuhan massal setelah
G30S
Pembunuhan para Jenderal dalam
peristiwa 30 September 1965 baru awal dari kejadian mengerikan yang akan
terjadi bertahun-tahun kemudian. Orde Baru menuding PKI bertanggung jawab atas
kudeta yang gagal itu dan menghukum mereka dengan cara keji.
Warga yang dianggap sebagai
komunis dihabisi tanpa pengadilan, sebagai bagian dari operasi pembersihan PKI.
500 ribu hingga 3 juta orang tewas, menurut perkiraan Komnas HAM. Ribuan
lainnya diasingkan, dan jutaan orang lain harus hidup dengan stigma PKI.
Pihak yang layak dimintai
pertanggung jawaban versi Komnas HAM adalah Komando Operasi Pemulihan Keamanan
semua pejabat dalam struktur Kopkamtib 1965-1968 dan 1970-1978 serta semua
panglima militer daerah saat itu. Pelanggaran hak asasi manusia berat ini tak
ada dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah selama Orde Baru.
2. Penembakan Misterius
Peristiwa Petrus yang terjadi
pada periode 1982-1985 ini dilatarbelakangi tingginya kriminalitas disertai
kekerasan serta tumbuhnya kelompok-kelompok preman. Namun dalam penyelenggaraannya,
terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Apalagi banyak korban salah sasaran atau
masyarakat biasa.
Jumlah korban berdasarkan data
penelitian David Bourchier yang berjudul "Crime, Law, and State Authority
in Indonesia" pada 1990 - terjemahan Arief Budiman – yang dikutip Komnas
HAM mencapai 10.000 orang. Sementara temuan lembaga itu sendiri ada 2.000
orang. Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
3. Peristiwa Berdarah di Tanjung Priok
Kasus yang terjadi pada 1984
ini dipicu oleh penahanan Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan
M. Nur di Markas Komando Distrik Militer (Makodim). Tuduhannya adalah
pembakaran motor Babinsa. Warga yang protes atas penahanan tersebut melakukan
aksi unjuk rasa.
Massa dihadang berondongan
timah panas. Menurut laporan Komnas HAM, penembakan dilakukan oleh Artileri
Pertahanan Udara TNI AU. Akibatnya, 79 orang jadi korban, 24 di antaranya
meninggal serta sisanya mengalami luka-luka. Temuan ini diperoleh dari
penyelidikan tim yang dibentuk oleh Komnas HAM.
4. Peristiwa Mei 1998
14 tahun lalu, Jakarta
dikepung api. Reformasi, babak baru dalam kehidupan berbangsa Indonesia harus
dibayar mahal. Sementara krisis politik melanda Istana, kekerasan terjadi di
jalanan. Kerusuhan itu diduga dipicu oleh kelompok tak dikenal.
Terjadi penjarahan dan
pembakaran, pemerkosaan, serta penembakan dan penculikan. Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF) yang dibentuk pemerintah menemukan data bervariasi soal korban.
Tim Relawan menyebut 1.190 meninggal, sementara
Polda Jakarta menemukan 451 orang, serta Kodam Jaya menyebut 463.
5. Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
Pada September 1997, di tengah
tekanan krisis keuangan, pemerintah Indonesia dalam sebuah sidang kabinet yang
dipimpin Presiden Soeharto, mengambil langkah penting. Perbankan yang sehat tapi mengalami kesulitan
likuditas akibat krisis, akan dibantu. Belakangan, keputusan ini dikenal dalam
bentuk BLBI.
Total bantuan likuiditas yang
dikucurkan untuk perbankan yang dianggap ‘sehat’ itu mencapai Rp 144,5 triliun.
Namun hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi terjadinya
kerugian negara dari BLBI mencapai Rp 138,4 triliun. Kejaksaan Agung juga
mencatat masih ada 21 buron terkait penyimpangan dana bantuan tersebut. Beban
ekonomi akibat peristiwa ini juga masih kita tanggung hingga sekarang.
6. Lumpur Lapindo
11.974 warga di Sidoarjo
kehilangan rumah, mata pencaharian dan sejarah mereka akibat terjangan lumpur
panas. Lumpur panas meluap dari kawasan penambangan gas milik PT Lapindo
Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, pada 2006. Akibatnya, sekitar 18 desa di
kawasan tersebut kini menjadi lautan lumpur.
Baru-baru ini Komnas HAM
memutuskan bahwa kasus semburan lumpur panas itu merupakan pelanggaran atas hak
asasi manusia, sehingga masuk kategori kejahatan. Komnas minta Kepolisian
melakukan penyidikan lebih lanjut, walaupun Polda Jawa Timur sudah mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dalilnya, pengadilan memutuskan
bencana Lapindo sebagai bencana alam, bukan kejahatan.
7. Kekerasan di Papua
Lembaga Studi Hak Asasi
Manusia (eLSHAM) di Jayapura, Papua, punya daftar tentang penegakan hak asasi
di Papua. Dalam laporannya yang berjudul
‘Masa Lalu Yang Tak Berlalu’, lembaga itu mencatat ada 749 dugaan pelanggaran
HAM di Papua sejak 1970-an yang tak kunjung selesai sampai sekarang.
Hasil penelitian setebal 25
halaman itu dikerjakan bersama International Center for Transitional Justice
(ICTJ). Rincian dari temuan hasil penelitian yang diumumkan minggu ini adalah:
49 pelanggaran terhadap 312 laki-laki dan 56 perempuan. 101 orang di antaranya
merupakan korban dalam kelompok atau dialami oleh lebih dari satu orang.
8. Kekerasan Akibat Perebutan Lahan
Peristiwa terakhir yang ramai
ke publik secara nasional, yaitu pada tahun lalu, terkait perebutan lahan di
Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan Kabupaten Mesuji,
Lampung, antara warga dengan perusahaan perkebunan sawit. Pada kasus di Sumsel, jumlah korban meninggal
mencapai 7 orang. Sedangkan di Lampung, 100 warga ditahan Kepolisian.
Penyebab kasusnya berbeda.
Untuk peristiwa Kecamatan Mesuji di Sumsel, terkait konflik lahan antara warga
dengan PT Sumber Wangi Alam. Sementara di Kabupaten Mesuji, Lampung, warga yang
sudah menempati lahan ingin diusir oleh perusahaan Malaysia di bidang
perkebunan. Warga pun melawan. Kasus ini menambah daftar hitam konflik
perebutan lahan antara warga dan perusahaan. Warga Pulau Padang, Riau, 2012 lalu
berkemah dan menjahit mulut mereka di depan DPR untuk meminta keadilan akan
lahan mereka yang dirampas PT Riau Andalan Pulp and Paper.
9. Kasus Marsinah
Kasus pembunuhan terhadap
aktiis buruh, Marsinah, tahun depan sudah berusia 20 tahun. Namun hingga kini
belum terungkap siapa pelakunya. Padahal, kasus ini akan kadaluarsa tahun depan
– sesuai masa berlakunya – seandainya masih belum ada titik terang tentang
pelaku pembunuhan tersebut.
Peristiwanya terjadi pada 9
Mei 1993, ketika jasad Marsinah yang
sebelumnya sempat protes ke Kodim Sidoarjo atas penangkapan
rekan-rekannya, ditemukan tergeletak di sebuah gubuk pinggir sawah dekat hutan
jati, Dusun Jegong, Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Marsinah
terlibat aktif dalam pemogokan buruh PT Catur Putra Surya, sebuah perusahaan
arloji. Kini, para aktivis minta kasusnya yang tenggelam diungkap.
10. Pembunuhan wartawan
Mirip dengan kasus Marsinah,
peristiwa pembunuhan terhadap Fuad Muhammad Syarifudin alias Udin, wartawan
Harian Bernas Yogyakarta, pada Agustus 1996 belum juga terungkap. Aliansi
Jurnalis Independen (AJI) mengingatkan Kepolisian untuk mengungkap pelaku
pembunuhan Udin, mengingat kasus tersebut terancam kadaluarsa pada 16 Agustus
2014, sehingga tidak bisa diadili.
Sayangnya Udin bukan yang
terakhir. Hingga kini AJI mencatat ada 8 wartawan yang meninggal dalam tugas
peliputan. Namun hingga kini kasusnya belum juga terungkap oleh Kepolisian.
Delapan nama itu adalah, Naimullah (Sinar Pagi), Agus Mulyawan (Asia Press),
Muhammad Jamaluddin (TVRI), Ersa Siregar (RCTI), Herliyanto (Jurnalis lepas
Tabloid Delta, Sidoarjo), Adriansyah Matra’is Wibisono (Jurnalis TV lokal di
Merauke), Alfred Mirulewan (Tabloid Pelangi), dan Fuad Muhammad Syarifuddin
(Bernas).
Tentu masih banyak lagi kasus
yang tak terungkap. Silahkan ingatkan kami melalui kolom komentar di bawah ini.
No comments:
Post a Comment