Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan
alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke
belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang
terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang, Papa dan
Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama
herannya.
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat
undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya
berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata
yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik
nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban,
alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi
kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak
gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan
Rafli untuk melamarnya.
Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua
berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah
berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah
kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir
dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira
Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan
Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap
Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya
jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak
mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan
adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik
seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil
inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama
siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari
ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris,
juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar
insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan
laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi,
Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian
mereka atau satu kata ’kenapa’ yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata
mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka,
melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium
empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat
sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran
duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di
mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan
melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela
Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak ’luar
biasa’. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun
Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli.
Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering
berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli.
Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli
agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu
besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata,
atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu
sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli
pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka
terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu
adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang
cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali
ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan.
Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya,
bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses, mapan,
kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik
mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga
berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki
dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah
mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari
cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya
untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika
digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia
tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap
hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu
dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu
seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari
keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan
dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika
bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor
semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak
pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu
berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas
dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan
kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun
masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup
dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser
dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama
kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania
menangis.
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat
dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania.
Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan
sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat
hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal,
hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah
sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar
mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta
orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam
setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa
sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu.
Belum ada perubahan, Bu.
Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam
kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli
berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of
humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika
pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab
dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka
meleset.
Masih pembukaan dua, Pak!
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena
rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu
makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang?
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri
memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau
begitu?
Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran.
Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu
kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih.
Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan
dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang
diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga
perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan
langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa
menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna
merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana
pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali.
Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu
tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh
darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli
bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi
Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil.
Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak
sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut
menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat
perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak
keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya
pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh,
dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya
sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang
ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili
mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan
bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan
kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta?
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium
tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai
pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke
rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra.
Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil
tak bosan-bosannya berbisik.
Nania, bangun, Cinta?
Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan
permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa
melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang
menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak
merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya
yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa
makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu
di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar
dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan
Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan
airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali
dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah
satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju
rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku
Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum
tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur.
Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak
perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal
lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah
perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga
jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja,
makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan
Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan
orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada
Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan
senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang
ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak
puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua
berbisik-bisik.
Baik banget suaminya!
Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung!
Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat
bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang,
Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania
makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian.
Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya
akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket
dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak
permainan.
Ya. Dua puluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung
semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati,
kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah
direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari
laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Seperti yg diceritakan oleh seorang sahabat..
Oleh : Asma Nadia
Sumber : http://kolom.abatasa.co.id/kolom/detail/hikmah/1212/cinta-dari-seorang-laki---laki-biasa.html
No comments:
Post a Comment