Sumber : google |
Tidak di kampus, tidak di kantor, tidak di pertokoan, tidak di bus,
tidak di kereta api, lebih-lebih di tempat-tempat hiburan dengan mudah
kita akan temukan dua sejoli yang belum terikat tali pernikahan asyik
berduaan, bergandengan tangan bahkan berpelukan mesra. Kadang kita
menjadi kikuk karenanya. Mau ditegur jadi ribut. Tidak ditegur merusak
pandangan. Akibatnya perjalanan kita menjadi tidak nyaman.
Itulah pacaran. Salah satu budaya sekaligus gaya hidup kaum muda
Indonesia. Dengan alasan penjajakan pra nikah, berbagai carapun
dilakukannya.
Yang penting katanya “Tidak MBA (Married By Accident”). Meskipun
realitas membuktikan tidak sedikit para remaja yang hamil sebelum nikah.
Dan telah melakukan hubungan badan sesama lawan jenisnya.
Sehubungan dengan itu, mari kita kaji masalah ini dalam tinjauan
hukum positif Indonesia. Pada saat yang sama kita juga perlu
membandingkannya dengan hukum Islam, sebagai referensi dan pedoman
tertingggi bagi kehidupan kaum muslimin. Sehingga dengan ini, kita
sebagai kaum muslimin dapat menentukan sikap berkaitan dengan masalah
pacaran ini. Baik terhadap diri kita, saudara kita, anak kita, tetangga
kita atau teman dan kolega kita.
Dalam Hukum Positif
Dalam KUHP Indonesia, kita tidak temukan istilah pacaran. Namun bukan
berarti masalah ini tidak diatur dalam KUHP. Karena dalam Bab XIV
diatur masalah kejahatan terhadap kesopanan. Khususnya pasal 281 yang
menyatakan bahwa barang siapa yang sengaja merusak kesopanan dimuka umum
diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan.
Yang dimaksud dengan merusak kesopanan ini, R. Susilo dalam bukunya
“Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya” antara
lain yaitu mencium lawan jenis dsb. Dan sebagainya disini bisa berarti
pula berpelukan tergantung kebijakan hakim dalam memtuskan masalah ini.
Tergantung pula dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku pada
sebuah masyarakat.
Yang perlu digarisbawahi tindakan ini harus dilakukan di depan umum.
Diantaranya yaitu di terminal, stasiun, tempat perbelanjaan, gedung
bioskop, kampus dan perkantoran. Dan harus dilakukan dengan sengaja.
Yang dibuktikan dengan tindakan saling berpelukan atau berciuman di
depan umum. Sedangkan bagi mereka yang melakukan diluar tempat umum
tidak dapat dikenakan delik ini. Karena unsur di tempat umum tidak
terpenuhi.
Dari ketentuan itu sebenarnya cukup jelas bahwa pacaran yang
dibarengi dengan pelukan atau berciuman di depan umum dapat dianggap
sebagai kejahatan yang diancam dengan penjara 2 tahun 8 bulan.
Masalahnya adalah karena terjadinya pergeseran budaya, sehingga
tindakan semacam itu sepertinya telah menjadi kebiasaan dan dianggap
wajar oleh sebagian besar orang tua, pendidik dan aparat penegak hukum
lainnya. Ini menunjukkan bahwa tingkat kesopanan bangsa Indonesia telah
menurun. Demikian halnya rasa malu yang dimiliki bangsa ini. Padahal
Rasulullah menyatakan Al Hayaau minal iiman (malu adalah sebagian dari
iman). Lalu dimana letak keimanan kita jika membiarkan anak-anak kita
melakukan hal itu ???.
Sumber : google |
Menurut Hukum Islam
Sebelum kita berbicara masalah pacaran dalam tinjauan hukum Islam
kita perlu lebih dahulu memahami maslah hudud, qishash dan ta’zir. Yang
dimaksud dengan hudud adalah ketentuan – ketentuan pidana yang telah
diatur secara tegas dan jelas termasuk jenis hukumannya dalam Alqur’an
atau sunnah Nabi dan yang merupakan hak prerogratif Allah Swt. Semisal
mencuri, menyamun, berzina, dan memfitnah.
Sedangkan qishash adalah pembalasan setimpal sehubungan dengan
pembunuhan atau penganiayaan dimana hak menentukan hukumannya diserahkan
kepada korban atau ahli waris korban. Apakah ingin membalas yang
setimpal, membayar denda atau memaafkan pelakunya.
Adapun ta’zir adalah ketentuan yang diatur oleh penguasa atau hakim
selain dari kedua hal diatas (hudud dan qishash). Fungsinya yaitu untuk
mengisi kekosongan hukum. Semisal masalah percobaan pembunuhan atau
percobaan pencurian atau percobaan perzinahan yang tidak diatur dalam
syariat Islam. Disini penguasa atau hakim diberikan wewenang untuk
menentukan besarnya hukuman yang harus diterima oleh pelaku tindak
pidana.
Kembali ke masalah pacaran, penulis juga cukup terkejut ketika
membaca buku “Al Ahkam Al Sulthaniyyah” halaman 459 karya Imam Al
Mawardi. Ternyata dalam hukum Islam pacaran dimasukkan sebagai salah
satu bentuk percobaan tindak pidana perzinahan. Dimana hukumannya
ditentukan oleh ta’zir penguasa atau hakim.
Menurut beliau pacaran yang dibarengi dengan ngobrol berduaan dalam
satu kamar / rumah maka dikenakan hukuman cambuk sebanyak tiga puluh
kali (30). Jika berduaan dan berpelukan tanpa pakaian namun belum sampai
bersetubuh dikenakan hukuman cambuk sebanyak enam puluh (60) kali. Jika
ngobrol dijalanan maka dikenakan dua puluh (20) cambukan. Jika saling
mengikuti dengan saling memberikan isyarat maka dikenakan hukuman cambuk
sebanyak sepuluh (10) kali.
Hal itu selaras dengan ayat ayat 32 surat Al Israa’ yang artinya “Dan
janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah satu
perbuatan yang keji dan jalan yang buruk”.
Disini cukup jelas bahwa yang dilarang bukan hanya zina, bahkan
segala sesuatu yang dapat menghantarkan seseorang jatuh kepada perbuatan
zina. Satu diantaranya adalah pacaran. Karena pacaran akan
menghantarkan pada zina hati, penglihatan, pendengaran dan tangan.
Karena itu dalam ayat yang lain Allah menyuruh kita untuk menundukkan pandangan (ghadhul bashar). Firman Allah artinya :
“Katakanlah kepada laki-laki beriman “ hendaklah mereka menundukkan /
menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya …”(An Nuur : 30).
Jalan Keluar
Masalah yang timbul sekarang adalah bagaimana dengan anak-anak, teman
atau saudara kita yang saat ini pacaran. Haruskah kita cambuk sesuai
hukum Islam ?. Tentu saja tidak semudah itu, karena hukum pidana Islam
belum diformalkan di negeri kita. Jalan keluar yang paling mungkin yaitu
dengan cara mensegerakan mereka menikah. Kalau mereka masih sekolah
atau kuliyah bisa dengan cara nikah gantung sebagaimana terjadi dalam
hukum adat masyarakat jawa. Yaitu menikahkan secara resmi tapi belum
boleh berkumpul dalam satu rumah dan melakukan hubungan suami istri.
Hal itu juga pernah dicontohkan Rasulullah ketika menikahi ‘Aisyah,
karena saat itu Aisyah belum menginjak baligh. Dan Rasulullah baru
berkumpul dalam satu rumah setelah ‘Aisyah dewasa atau baligh. Model
nikah semacam inilah yang seharusnya kita populerkan. Sehingga
pacarannya menjadi resmi, karena dilakukan setelah ijab kabul. Sehingga
ketika sang suami yang nikah gantung apel pada malam minggu akan merasa
tenang dan nyaman. Tidak takut ditangkap hansip apalagi dicambuk hingga
puluhan kali.
Lalu bagaimana dengan yang belum pacaran dan belum menikah. Jalan
keluarnya yaitu dengan cara mencari istri lewat orang tua, ustadz atau
teman. Apabila sudah cocok setelah melakukan penyelidikan terhadap sang
calon segera saja dilamar dan dinikahi. Hal ini pernah dicontohkan oleh
orang tua kita. Meskipun mereka tidak berpacaran toh anaknya banyak dan
perkawinannya kekal hingga akhir hayat. Ini sangat berbeda dengan para
artis dan anak muda sekarang, meskipun berpacaran cukup lama, tapi toh
tingkat perceraiannya cukup tinggi.
Model pernikahan semacam itu juga sudah mulai dipraktekkan oleh para
aktivis dakwah kampus dan anak-anak tarbiyyah Islamiyyah. Dan
alhamdulillah menurut pengamatan penulis perjalanan rumah tangga mereka
berjalan dengan baik, aman dan nyaman.
Jika anda masih ragu-ragu jangan segan-segan bacalah buku “Indahnya
Pernikahan Dini” atau buku “Berpacaran Dalam Islam”. Mudah-mudahan
dengan itu budaya pacaran lambat laun akan hilang dari kehidupan
masyarakat Indonesia yang mengaku religius ini. Wallahu ‘alam.
(www.voa-islam.com mengutip dari swaramuslim.net)
No comments:
Post a Comment