Sumber Gambar : google |
Kehidupan rumah tangga yang penuh kasih sayang, mesra dan
menyenangkan, merupakan dambaan setiap pasangan suami istri. Namun
dalam perjalanannya tak semudah yang diimpikan, ibarat bahtera yang
mengarungi lautan luas yang tak lepas dari ancaman badai dan gelombang.
Lautan mengalami pasang surut maka kehidupan rumah tangga pun akan
mengalami semisalnya. Kadang hubungan antara suami istri manis dan
mesra, namun pada saat tertentu bisa panas dan mencemaskan.
Tali pernikahan dalam Islam adalah sebuah ikatan yang kokoh yang
menjalin pasangan suami istri dalam rangka menggapai jalinan rumah
tangga yang penuh cinta dan kasih sayang. Allah menyifati hubungan
pernikahan itu dengan istilah mitsaqan ghalizhan (tali perjanjian yang kokoh). Seperti yang tersurat dalam firman-Nya (artinya):
“Dan mereka (istri-istri) kalian telah mengambil dari kalian sebuah tali perjanjian yang kokoh (mitsaqan ghalizha).” (An Nisaa’: 21)
Akad nikah adalah sebuah ikatan perjanjian yang kokoh untuk
mewujudkan keluarga yang penuh cinta kasih. Al Qur’an menggambarkan
kedekatan hubungan mereka ibarat pakaian dan pemakainya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Para istri itu adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka.” (Al Baqarah: 187)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Rum: 21)
Dua ayat yang mulia di atas menggambarkan keterkaitan antara
keduanya, suami akan merasakan kehangatan dan ketenangan dengan istrinya
dan demikian pula sang istri merasakan hal yang sama.
Disisi lain, pernikahan itu adalah sebuah ibadah yang mulia dan
agung. Siapa saja melaksanakan pernikahan di atas takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, insya Allah dia akan meraih tujuan dari pernikahan dan akan semakin sempurna agamanya.
Dari sahabat Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ الْعَبْدُ فَقَدِ اسْتَكْمَلَ نِصْفُ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِيْمَا بَقِيَ
“Jika seorang hamba telah menikah, sungguh telah sempurna setengah agamanya, maka bertakwalah kepada Allah pada (setengah) yang tersisa.”
(HR. At Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath, dishahihkan oleh Al-Albani. Lihat Ash Shahihah no. 625)
Islam sangat menjaga ikatan yang suci ini agar tidak sampai goncang,
apalagi terlepas. Namun dua insan yang masing-masing memiliki watak,
tabiat, kepribadian yang berbeda dan ditambah pengaruh luar, kadang
terjadi kesenjangan hubungan antara keduanya. Diantara faktor pemicu
terbesar problematika rumah tangga adalah kurang saling memahami tugas
masing-masing antara suami dan istri.
Pada kajian kali ini akan diuraikan tentang peran suami dalam rumah
tangga. Mengingat dialah tonggak utama rumah tangga yang sangat
berpengaruh bagi baik-buruknya sebuah rumah tangga.
Suami adalah Pemimpin Rumah Tangga
Wahai para suami, hendaknya kalian sadar, bahwa kalian adalah pemimpin rumah tangga. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya): “Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka
(kaum pria) di atas sebagian yang lain (dari kaum wanita) dan
disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka.” (An Nisa‘: 34)
Al-Imam Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas: “(Dengan
sebab harta yang mereka belanjakan) berupa mahar, nafkah dan tanggungan
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan atas mereka seperti
yang tersebut dalam kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya, maka pria lebih utama
dari wanita serta memiliki kelebihan dan keunggulan di atas wanita,
sehingga pantas menjadi pemimpin bagi wanita, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya):
“Para suami memiliki kelebihan satu tingkatan di atas para istri.” (Al Baqarah: 228)
Kemudian Al-Imam Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat di atas:
“Para suami memiliki kelebihan satu tingkat di atas para istri yaitu
dalam keutamaan, dalam penciptaan, tabiat, kedudukan, keharusan menaati
perintahnya (dari si istri selama tidak memerintahkan kepada
kemungkaran), dalam memberikan infak/belanja” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada ayat tersebut).
Wahai para suami, sadarlah! Engkau adalah pemimpin, nahkoda bahtera
rumah tangga. Engkaulah yang mengatur dan mengendalikan istri dan semua
anggota rumah tanggamu.
Bukanlah sang istri sebagai pemimpin rumah tangga, yang mengatur
suami dan yang mengayuh biduk rumah tangga. Engkaulah wahai para suami
yang memimpin istri dan membimbingnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
memilih engkau sebagai pemimpin kaum wanita, disebabkan engkau memiliki
kelebihan dari berbagai sisi. Sementara kaum wanita memiliki kekurangan
dari sisi agama dan akal, karena mereka tidak melaksanakan shalat
semasa haidhnya dan karena persaksian dua orang wanita sebanding dengan
persaksian seorang laki-laki. (Lihat HR Al-Bukhari no.304 dan Muslim no.79) . Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً
“Tidak akan berhasil suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.” (HR. Al Bukhari no. 4425)
Kendati demikian, bukan berarti wanita adalah makhluk yang rendah
yang tidak pantas dihargai pendapatnya, ajaklah istri untuk
bermusyawarah. Sebagaimana perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya)
“Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.” (Ali Imron:159)
Islam datang justru mengangkat derajat dan martabat kaum wanita setelah sebelumnya di masa jahiliyyah mereka sangat direndahkan.
Peranan Suami sebagai Pemimpin Rumah Tangga
Sebagai pemimpin rumah tangga, seseorang suami mempunyai kewajiban-kewajiban, diantaranya:
Pertama: Kewajiban memberi nafkah bagi keluarga (istri dan anak-anaknya)
Seorang suami berkewajiban memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan
papan bagi keluarganya. Seorang suami wajib menafkahi istri dan
anak-anaknya, menyediakan tempat tinggal serta mengadakan pakaian untuk
mereka sesuai kemampuannya. Hal ini tidak boleh dilalaikan oleh seorang
suami. Dia dijadikan sebagai pemimpin terhadap istri dan anak-anaknya
diantaranya karena telah menafkahi mereka. Sebagaiman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (artinya):
“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian mereka
(kaum pria) di atas sebagian yang lain (dari kaum wanita) dan
disebabkan kaum pria telah membelanjakan sebagian dari harta mereka.” (An Nisa‘: 34)
Dalam memenuhi kebutuhan keluarga hendaklah seorang suami mencari nafkah dengan cara yang halal agar diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapat pahala karena telah memenuhi kebutuhan keluarganya.
Kedua: Kewajiban membina dan mendidik mereka.
Wahai suami, jadilah engkau sebagai pembina dan pendidik dalam rumah
tanggamu. Engkau bukan hanya bertanggungjawab mencukupi kebutuhan
materi rumah tanggamu dari kelayakan tempat tinggal dan kecukupan
nafkah atau kebutuhan materi lainnya.
Maka dari itu, jangan lupa wahai saudaraku, ingatlah engkau juga
bertanggungjawab membina dan mendidik istri dan putra-putrimu, bahkan
itu lebih penting dari sekedar mencukupi kebutuhan materi. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Wahai sekalian orang-orang yang beriman! Jagalah (selamatkanlah) dirimu dan keluargamu dari (dahsyatnya) an naar (api neraka).” (At Tahrim: 6)
Al-Imam As-Sa’di rahimahullah dalam tafsir ayat tersebut
berkata: “Tidak akan selamat seorang hamba kecuali jika ia telah
menunaikan perintah Allah terhadap dirinya dan terhadap siapa saja yang
dibawah tanggung jawabnya dari para istri dan putra-putrinya, serta yang
lainnya yang dibawah kewenangan dan pengaturannya. (Lihat Tafsir As Sa’di pada ayat tersebut)
Engkau sebagai kepala rumah tangga, wajib menjaga dirimu dan
keluargamu, istri dan putra-putrimu dari dahsyatnya api jahannam. Dengan
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar dalam rumah tanggamu, mengajak
mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kejelekan. Engkau harus
berupaya semaksimal mungkin dalam mengondisikan keluargamu untuk
menjalankan kewajiban yang Allah perintah kepada mereka. Diantaranya
kewajiban shalat, maka kepala rumah tangga harus memerintahkan
keluarganya untuk melaksanakannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (artinya):
“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
مُرُوا أَولاَدَكُمْ بِالصَّلاَة وَهُمْ أَبْنَاء سَبْع
سِنِيْنَ وَاضْرْبُوهُمْ عَلَيْها وَهُم أَبْنَاء عَشَر وَفَرِّقُوا
بَيْنَهُم في الْمَضَاجِع .
“Perintahkan putra-putri kalian untuk menunaikan shalat pada umur
tujuh tahun, dan pukullah mereka (dengan pukulan yang tidak
memudharatkan) pada saat berusia sepuluh tahun karena meninggalkan shalat, serta pisahkan ranjang mereka.” (HR. Abu Dawud no. 495, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani)
Ketiga: Kewajiban bergaul dengan mereka secara baik
Hendaknya seorang suami dalam membina keluarganya dengan cara yang
baik, lemah lembut dan penuh kasih sayang, bukan dengan kekerasan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan yang demikian itu dalam firman-Nya (artinya), “bergaullah dengan mereka secara patut.”
Berkata Al-Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat tersebut,
“Maniskanlah perkataan kalian terhadap mereka, baguskanlah perbuatan dan
penampilan kalian sebagaimana kalian senang jika istri-istri kalian
seperti itu, maka berbuatlah engkau untuk dia seperti itu pula.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:”Sesungguhnya
tidaklah kelemah-lembutan itu ada pada sesuatu melainkan akan
menghiasinya, dan tidaklah kelemah-lembutan itu dicabut darinya
melainkan akan menjadikannya jelek.” (HR. Muslim no. 4698) .
Demikian pula, engkau harus membersihkan rumah tanggamu dari berbagai
sarana yang dapat merusak aqidah, akhlak, dan juga sarana yang membuat
mereka lalai dari berdzikir kepada Allah. Dunia benar-benar fitnah,
telah terbuka lebar-lebar pintu fitnah yang membuat lalai bani Adam.
Waktu shalat telah tiba, adzan dikumandangkan, beberapa orang saja yang
sudi menjawab panggilan adzan dan mau mengerjakan shalat diawal waktu.
Bahkan tidak sedikit dari mereka yang tidak shalat. Mereka masih asyik
ada di mal-mal, warnet-warnet, pasar-pasar atau yang lain.
Engkaulah wahai para suami bertanggung jawab terhadap keluargamu,
istri dan putra-putrimu. Jika engkau merasa iba keluargamu terlantar
dari sisi dunia mereka, seharusnya engkau lebih iba jika keluargamu
terlantar di akhirat kelak. Engkau kelak pada hari kiamat akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungan jawab dari yang dipimpin.” (HR. Al Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829, dari shahabat Abdullah bin Umar radiyallahu ‘anhuma)
Wahai saudaraku, sabarlah menjadi nahkoda bahtera rumah tanggamu.
Ingatlah tali pernikahan adalah sebuah ibadah yang agung, sehingga
bangunlah rumah tanggamu di atas takwa. Barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dengan sebenar-benar takwa, pasti Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan memberikan jalan keluar segala problematika yang dihadapinya.
Rumah tangga yang diramaikan dengan amalan shalih, seperti menegakkan
shalat, membaca Al Qur’an, memperbanyak dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, meneladani sunnah-sunnah Rasulullah dan selainnya, akan diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kehidupan yang baik, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan mereka diliputi dengan kebaikan dan kebahagian.
“Barangsiapa yang beramal amalan shalih, baik dari laki-laki
maupun perempuan dalam keadaan ia beriman, maka Kami akan karuniakan
kepadanya kehidupan yang baik.” (An-Nahl: 97)
Wallahu a’lam.
No comments:
Post a Comment